Senin, 19 Desember 2011

semangatku terkubur


                Pagi ini, udara terasa begitu dingin. Jujur saja aku enggan pergi kesekolah hari ini. tapi, ketika ku ingat lagi tentang sepasang mata bening yang berbinar yang selalu menampakan kasih sayang, aku jadi kembali bersemangat. Ya, dia lah semangat ku saat ini.
Ku langkah kan kaki dengan tergesa-gesa. Karna ingin cepat sampai di sekolah dan bertemu ‘semangat’ku. Tiba-tiba, di tengah jalan. Ada sebuah mobil yang mogok. Tak berapa lama kemudian, keluar seorang gadis berpakaian seragam sekolah sama seperti ku.
Aku terkejut. Ternyata, gadis itu adalah semangatku. Lalu aku makin semangat saja. Kemudian aku bergegas menghampirinya.
“hai, kenapa mobilnya?” tanyaku basa-basi pada semangatku.
“oh..” jawabnya sedikit terkejut dengan kedatanganku. Lalu ia melanjutkan kata-katanya. “..ga tau nih. Tiba-tiba mogok.”
Mendengar suaranya yang manja dan lembut. Aku jadi terpancing untuk tersenyum dan terpaku sejenak. Lalu aku berkata padanya. “gimana kalau bareng aja sama aku?” tawarku mengambil kesempatan.
Ia terkejut mendengar tawaranku. Lalu ia berkata. “memangnya kamu sekolah dimana?”
“sekolah, dimana kamu juga sekolah.” Jawabku mantap.
Ia kembali terkejut. Lalu berfikir sejenak sebelum berkata. “oh, ya? Kelas berapa?”
Lalu aku kembali menjawab lagi dengan semangat. “sekelas sama kamu.”
Kali ini ia lebih terkejut dari sebelumnya. Ia ternganga saat tau aku adalah temen sekelasnya yang tak pernah ia tengok sedikitpun. Maklum ia adalah gadis pemalu yang tak suka berbaur dengan yang lain.
Lalu ia berkata setengah tak percaya. “masa sih? Kok aku ga pernah liat kamu?”
“lagian, mukanya nunduk aja sih. Sekali-kali liat dong temen sekelasnya yang ganteng ini.” Jawabku mulai sok akrab dengan nada bercanda.
Lalu ia tersenyum manis. Ini bagian yang paling ku suka darinya. Saat ia menyunggingkan senyuman manisnya yang jarang terlihat.
“gimana? Jadi ikut ga?” tanyaku memastikan.
Ia kembali berpikir sejenak. Lalu menganggukkan kepalanya malu-malu. Kemudian, memberitahukan pada sopirnya, bahwa ia akan ikut bersama dengan ku.
Aku tersenyum senang sekali. ini adalah hari paling membahagiakan bagiku. Setelah setahun menjadi pengagum rahasianya, terhitung mulai dari aku dan dia kelas satu SMA dan saat itu akupun menjadi teman sekelasnya. Namun baru kali ini aku berbicara langsung dengannya, bahkan memboncenginya di motorku.
Sepanjang jalan ia hanya duduk manis dan menundukan kepalanya seperti kebiasaannya.
“rumah kamu dimana?” tanya ku memancing suaranya yang manja untuk bersuara lagi.
“di komplek Gadu” jawabnya lembut setelah terlebih dulu mengangkat kepalanya dan menoleh sedikit kearahku.
“oh, ya. Kamu udah dapet kelompok untuk presentasi?” tanyaku lagi.
“belum”
“masuk kelompokku aja!” pintaku.
“memangnya boleh?” tanyanya.
“ya, boleh lah.” Jawabku yakin. Padahal aku belum tahu, apakah teman-teman kelompokku mengijinkannya atau tidak. Tapi kalau pun tidak mengijinkan, aku pasti akan memaksa mereka untuk menerimanya di kelompok kami. Usaha banget ya. Hehe..
Ia hanya tersenyum sambil menunduk. Diam-diam aku memandanginya dari kaca spion sebelah kiri motorku.
            Beberapa saat kemudian kami sampai di sekolah.
Teman-temanku yang mengetahui jelas tentang perasaanku pada Manja, gadis yang menjadi semangatku selama setahun belakangan. Kontan mereka menjadi heboh. Tak sedikit yang menyiulkan, menggoda dan meledekku. Tapi aku hnya tersenyum.
Sementara Manja merasa jengah dan memilih untuk lekas-lekas meninggalkanku setelah mengucapkan terima kasih.
Lantas aku mengejarnya setelah selesai memarkirkan motorku. Saat ini pula, teman-temanku makin menjadi-jadi menggodaku. Tapi seperti tadi, aku tak terlalu menghiraukan mereka.
“Manja!” seru ku memanggil sambil menghampirinya.
Langkahnya terhenti menungguku menghampirinya.
“bareng ya ke kelasnya.” Ujarku.
Ia hanya tersenyum manis, namun kali ini sambil menhela nafas.
“kenapa?”
“ga papa. Aneh aja sama kamu.”
“aku?” tanyaku sambil menunjukan jari telunjukku ke hidungku.
“hm.”
“aneh kenapa?” tanyaku makin penasaran.
Namun ia tak melanjutkan kata-katanya lagi. Padahal aku sangat menantikan ucapan-ucapannya yang selanjutnya.

                                                ***

Rasanya aneh. Setiap hari aku harus selalu merindukannya. Walaupun aku sudah memaksakan diri untuk menepisnya. Tapi ia selalu ada, mulai dari aku terjaga sampai terlelap. Bahkan, ia masih sempat-sempatnya mampir di mimpiku tiap malam.
Oh, cinta.. kenapa begitu menyiksa.
Hari demi hari berlalu. Kini aku sudah mulai melakukan pendekatan ekstra dengannya. Mulai dari pura-pura membahas soal presentasi, sampai menemaninya ke mana pun ia mau pergi di sekolah ini. entah ke kakantin atau ke perpustakaan, tapi kalau ke kamar mandi dia selalu menolak di anterin. Kenapa ya?
Sudah sejauh itu, namun sampai sekarang ia masih saja tak bergeming dengan perasaanku yang kian hari makin dalam padanya.
Lalu aku bermaksud curhat dengan sahabatku. Ia bisa di bilang seorang playboy cap ikan asin.
“cewek itu, seneng di perhatiin dari mulai hal kecil sampai hal besar.” Ujarnya sok menasehati.
“contohnya?” tanyaku tak mengerti. Maklum ini adalah cinta pertamaku, jadi belum lihai membaca hati.
“ah, osnon juga lo! Masa kaya gitu aja ga tau??” dampratnya padaku.
“lah, kan gw belum pernah pacaran.” Aku ku polos.
“oh, iya ya. Gw lupa kalo lo bujang lapuk yang ga laku-laku.” Ejeknya.
Aku ngambek. Lalu berkata. “gw bukannya ga laku. Tapi gara-gara ngejar satu orang, yang lain terbengkalai.” Kataku membela diri.
“sial. Bisa aja lo ngelesnya.” Katanya sambil tertawa kecil. “kalo dia lagi di rumah, lo sms aja. Tanya, dia udah makan apa belom?” sarannya.
“udah, Gw pernah nanya gitu sama dia. Tapi ga di bales sms gw..”
“ga ada pulsa kali, dia. Lo beliin donk!”
“bukannya ga ada pulsa. Tapi pas gw liat jam, ga taunya udah jam 1 pagi.”
 Reza tertawa. Lalu berkata. “kemana aja lo jam segitu baru sms orang nanyain dia udah makan apa belom?” ejeknya.
“gw keasikan browsing di internet. Jadi lupa daratan, ga inget lautan deh.”
“gimana, kalau lo langsung tembak aja!” saran Reza.
“ah, enggak.. enggak! Malu gw.”
“terus mau sampai kapan kaya gini terus? Gw juga udah bosen kali, dengerin curhatan lo.”
“oh, jadi lo udah ga mau dengerin gw curhat lagi?”
“bukan gitu, coy. Masalahnya, dia ga akan tahu perasaan lo ke dia kalo lo ga ngungkapinnya.”
“kalo gw di tolak?” kataku pesimis.
“cari yang lain!” sahutnya, sekenanya.
“parah lo ya.” Semprot ku. “bukan kasih solusi yang baik..”
“ya, kalo pun lo di tolak. Paling enggak. Lo udah ngungkapin perasaan lo ke dia dan lo pastinya jadi tahu apa yang harus lo lakuin terhadap dia. Ga kayak selama ini, lo selalu ngejar-ngejar dia secara rahasia. Bagaimana dia bisa ngerespon lo, sedangkan perasaan lo aja dia ga tahu.”
“tapi, masa dia ga bisa sih baca gelagat gue, gitu?” ujarku.
“..ga semua orang bisa memahami suasana hati kita. Masalah apapun, terlebih lagi yang berkaitan dengan hati. butuh keterbukaan, maka nanti akan timbul pengertian, kemudian pemahaman, baru deh nanti akan ada rasa kebersamaan.” Nasehatnya.
“tumben lo, bener?” ledekku.
“mmm. Osnon! Kalo di kasih tau sama pakarnya, suka nyela aja lo.” Dampratnya bergurau.
Aku terdiam. Terpaku membisu sambil mempertimbangkan apa yang di bilang Reza.

                                                ***

Keesokan harinya. Aku memberanikan diri untuk menyatakan cinta padanya. Berangkat dari rumah dengan segenap keberanian yang di paksakan dan semangat yang menggetarkan hati.
Sesampainya di sekolah. Aku langsung masuk ke dalam kelas. Namun, tak biasanya ia belum datang. Biasanya, selalu dia duluan yang datang ke sekolah di banding aku. Atau mungkin hari ini aku yang kepagian datangnya, karna saking semangatnya untuk menyatakan cinta?
Lalu aku menunggu dengan sabar. Sampai akhirnya bel sekolah berbunyi. Ia belum juga datang. Ternyata ia tak masuk sekolah. Kata beberapa temanku, sopir Manja menitipkan surat pada salah satu temanku yang menyatakan bahwa ia sedang sakit. Mendengar hal itu, aku menjadi lemas. Lalu, kuurungkan niatku untuk kesekian kalinya.

                                                ***

Sebulan kemudian. Sampai saat ini, ia belum juga masuk sekolah. Aku makin gelisah dengan keadaannya. Apa sebenarnya yang terjadi padanya. Tak hanya aku yang menghawatirkannya, tapi teman-teman yang lain juga demikian. pihak sekolah pun sudah mencoba mmenghubungi keluarga Manja, tapi tak dapat di hubungi. Bahkan sesering mungkin pihak sekolah datang ke rumahnya, namun keadaan rumahnya sangat sepi seperti tak berpenghuni. Usai pulang sekolah. Aku bermaksud menjenguknya. Sesampainya di rumahnya, aku di sambut hangat oleh seorang ibu. Setelah ku beritahu maksud kedatanganku. Lantas ibu itu berkata, bahwa ia adalah penghuni baru rumah ini dan orang yang dulu tinggal di sini telah pindah keluar kota.
“Astaghfirullah!!” gumamku terkejut. Aku benar-benar terlambat. Tak lama kemudian aku pun berpamitan dengan yang punya rumah. Lalu ku ayunkan kaki ku dengan langkah gontai menuju motorku. Aku pun berlalu dari rumah itu.

                                                ***

Sudah dua tahun berlalu. Tapi aku tak pernah menyerah untuk mencarinya. Tiba-tiba, aku melihat sosok pria setengah baya yang pernah ku lihat sebelumnya. Tapi aku terlupa siapa dia. Pandanganku terus mengintainya sambil mengingat-ingat siapa orang itu.
Dah inget!! Ternyata ia adalah sopir Manja. Lalu aku berlari kecil menghampirinya yang sedang duduk di warung kecil di pinggir jalan sekitar kampusku.
“permisi, Pak.” Sapa ku.
Bapak itu menatapku penuh tanya. Lalu menjawab. “iya.”
“bapak, sopirnya Manja kan?!” kataku tanpa basa-basi.
“iya..” jawabnya sedikit ragu.
Lalu aku memperkenalkan diriku sambil mengambil posisi duduk di sampingnya di bangku paanjang. “Aku Ugie. Aku teman sekolah SMA Manja. Kalau boleh tahu, sekarang Manja ada di mana ya Pak?”
Mendengar pertanyaanku tentang Manja. Wajahnya langsung berubah menjadi galau. Lalu berkata. “Non Manja udah ga ada di sini lagi.”
“dimana?” tanyaku penasaran.
“tunggu sebentar di sini, saya mau pulang dulu sebentar.” Pintanya. Kebetulan rumahnya tak jauh dari tempat kami mengobrol.
Aku menurut.
Setelah agak lama menunggu. Bapak itu kembali dengan sebuah amplop di tangannya. Lalu bapak itu menyodorkannya padaku. Kemudian memintaku untuk datang ke suatu tempat.
Sekali lagi aku menurut. Aku pergi ke luar kota di mana orang tua Manja tinggal, dengan membawa amplop yang baru saja ku terima, ketempat yang dimaksud oleh bapak itu.
Setelah sampai di sana. “Astaghfirullah! Inikan kuburan..” desisku. “apa maksudnya?” lalu tanpa ragu lagi, aku terus berjalan mengikuti petunjuk si bapak. Sampailah aku pada yang di maksud. Sebuah makam yang indah. Setelah ku lihat di batu nisannya, tertera nama Manja Morrora.
“Innalillahi..” ucapku dengan air mata yang tak terbendung tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Aku benar-benar terpuruk. Aku tersungkur di batu nisannya sambil menangis pilu. Aku benar-benar menyesal telah melewatkan banyak kesempatan saat ia masih ada di pandanganku. Saat ia masih dapat tersenyum padaku. Saat aku masih bisa bercanda dengannya. “Ya Allah. Tak bisa kah Kau memberiku kesempatan untuk memilikinya. Bukankah Engkau lebih tahu bahwa aku sangat mendambanya.?” Hati ku mengiba berdoa pada Allah berharap Allah akan mengasihiku. Walau aku tahu semua takkan mungkin. akhirnya, aku terlelap dalam dekapan erat nestapa.
Singkat cerita. Aku kembali ke rumahku. Lalu membuka amplop yang tak tahu apa isinya. Ternyata, di dalamnya ada sebuah buku harian milik Manja. Lalu dengan perlahan aku membacanya. lalu sampailah aku membaca di bagian yang menghancurkan hatiku. Ini adalah suara hatinya yang berbicara. “Ya Allah, di tengah kekalutanku, di atas kelemahanku dan kekuranganku. Kau hadirkan teman untukku. Aku sangat senang mendengarnya bicara. Aku terhibur bila senyum manisnya merebak. Ya Allah, seandainya Kau memberi ku kesempatan untuk hidup lebih lama. Maka ijinkan aku untuk mencintainya dan selalu mendampinginya. karna dia lah semangat hidupku saat ku sadari aku mencintainya. Ugie.” Di sana tertulis, bahwa ia telah mengalami sakit kanker hati. sudah berkali-kali diminta oleh kedua orang tuanya untuk operasi, tapi ia selalu menolaknya dan alasannya Cuma satu, bahwa ia takut ‘hati’ nya yang baru tak dapat mengenali Ugie yang dia cintai selama ini.
Aku membacanya sambil menangis tersedu. Lalu aku berkata dengan lirih. “Ya Allah. Jika Engkau mempertemukan kami hanya untuk mengecap rasa pedih tanpa peduli cinta kami, aku rela. Jika Engkau menciptakannya tidak untuk bersamaku, akupun rela. Tapi kenapa harus maut yang memisahkan kami?”  
Datang dan perginya sesuatu adalah dari Allah. Serahkanlah semua kepada-Nya. Jadikanlah ikhtiar, doa serta tawakkal sebagai hiasan hidup keseharian.



                                                            The end